BANTENINSIDE.COM – Dugaan praktik jual-beli seragam di SMKN 2 Kota Tangerang tengah menjadi sorotan tajam publik. Sejumlah orang tua murid mengaku diminta membayar seragam sekolah melalui koperasi, namun menyesalkan tidak adanya transparansi dan penolakan pemberian kwitansi resmi sebagai bukti pembayaran.

Kasus ini mencuat setelah beberapa orang tua menyoroti proses penjualan seragam yang dinilai janggal. “Kami diminta bayar sekian, tapi saat minta kwitansi, pihak sekolah menolak. Katanya, itu urusan koperasi. Kok bisa koperasi sekolah tidak transparan?” ungkap salah satu orang tua murid kepada wartawan.

Menanggapi isu tersebut, Kepala SMKN 2 Kota Tangerang, Sri Sulastri, menegaskan bahwa seluruh proses pengadaan dan distribusi seragam dilaksanakan sesuai ketentuan Dinas Pendidikan Provinsi Banten. “Sekolah hanya memfasilitasi peserta didik dan orang tua agar proses berjalan tertib dan seragam. Tidak ada kewajiban membeli melalui sekolah,” ujar Sri, Kamis (30/10).

Namun, pernyataan tersebut justru memicu tanya publik. Ironisnya, koperasi sekolah yang mengelola penjualan seragam ternyata dikendalikan oleh guru aktif dan pensiunan guru—bukan oleh siswa sebagaimana diatur dalam prinsip koperasi sekolah yang sehat.

“Pengelolaan koperasi memang oleh guru dan pensiunan. Soal kwitansi, kami memang tidak mau mengeluarkan,” ungkap seorang anggota komite sekolah dalam wawancara bersama kepala sekolah.

Praktik ini dinilai bertentangan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya dijunjung tinggi lembaga pendidikan negeri. Penolakan pemberian kwitansi menandakan transaksi berjalan tanpa keterbukaan, memunculkan dugaan bahwa koperasi sekolah menjadi ‘ladang bisnis’ terselubung di bawah bendera institusi pendidikan.

Publik pun menyoroti, apakah pengelolaan koperasi sekolah sudah sesuai aturan? Atau justru terjadi praktek konflik kepentingan yang merugikan siswa dan orang tua?

Sesuai regulasi, koperasi sekolah seharusnya dikelola oleh peserta didik sebagai sarana pembelajaran kewirausahaan. Guru hanya berperan sebagai pembina dan pengawas, bukan pelaksana operasional atau pengelola keuangan. Jika aturan ini dilanggar, wajar jika publik mendesak pemerintah dan dinas terkait untuk turun tangan melakukan audit dan investigasi.(red)