BANTENINSIDE.COM – Sebuah anomali mencengangkan terjadi di Kabupaten Tangerang. Di tengah statusnya sebagai daerah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbesar di Provinsi Banten yang mencapai Rp8,72 triliun, ratusan ribu warganya justru masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ironisnya, penurunan angka kemiskinan berjalan selambat siput, memicu pertanyaan besar: ke mana larinya anggaran raksasa tersebut?

Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, tercatat 260.900 jiwa atau 6,42 persen penduduk Kabupaten Tangerang masih terperangkap dalam jerat kemiskinan. Yang lebih memprihatinkan, dalam setahun terakhir, angka kemiskinan hanya turun 0,13 persen, sebuah capaian yang dinilai sangat tidak sebanding dengan gelontoran dana APBD yang terus meningkat.

Ahmad Suhud, Direktur Eksekutif Lembaga BP2A2N Provinsi Banten, menyoroti tajam fenomena ini. Ia menyebutnya sebagai bukti kegagalan program pemerintah daerah dalam menyentuh akar masalah.

“Bayangkan, APBD Perubahan 2025 naik signifikan hingga totalnya menjadi Rp8,72 triliun. Tapi penurunan kemiskinan hanya di angka ‘nol koma’. Ini harus diakui sebagai bukti nyata bahwa program-program yang berjalan tidak tepat sasaran,” tegas Suhud pada Kamis (20/11).

Data Amburadul, Bantuan Sosial Salah Sasaran

Menurut Suhud, pangkal masalah dari lambatnya penanganan kemiskinan adalah lemahnya validasi data. Akibatnya, berbagai program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan bantuan lainnya sering kali tidak sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

“Data-nya dulu yang harus dikuatkan! Bagaimana mau menolong orang miskin kalau kita tidak tahu persis siapa dan di mana mereka?” ujarnya.

Ia mendesak Pemkab Tangerang untuk melakukan audit menyeluruh terhadap semua program yang diklaim untuk pengentasan kemiskinan. “Jika sebuah program hanya menghabiskan anggaran tanpa dampak signifikan, segera evaluasi dan ganti! Ganti dengan program yang nyata menciptakan lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan,” tuntutnya.

Pengangguran Merajalela di Lumbung Industri

Masalah tidak berhenti di situ. Kabupaten Tangerang, yang dikenal sebagai kawasan industri dengan ribuan pabrik, juga gagal mengatasi pengangguran. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada 2025 masih bertengger di angka 5,94 persen, hanya turun 0,12 persen dari tahun sebelumnya.

Suhud menilai, praktik percaloan tenaga kerja yang masih marak menjadi salah satu biang keroknya. “Persoalannya bukan hanya kurangnya lapangan kerja, tapi sistem rekrutmen yang bobrok. Bahkan DPRD sudah meminta alokasi anggaran khusus untuk memberantas calo di 2026. Ini sinyal darurat,” jelasnya.

“Kalau kegiatannya masih itu-itu saja dan tidak berdampak besar, maka ujungnya hanya nambah anggaran doang, tanpa hasil,” tegas Suhud.

Respon Bupati: “Akan Saya Panggil BPS”

Sementara itu, saat dikonfirmasi mengenai data kemiskinan yang stagnan di tengah APBD yang melimpah, Bupati Tangerang, Drs. H. Moch Maesyal Rasyid, memberikan jawaban singkat. Ia mengaku belum menerima data resmi dari BPS.

“Kalau memang benar (datanya seperti itu), nanti saya akan panggil BPS-nya, supaya bisa menjelaskan persoalan ini,” ujarnya singkat.

Respons tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan publik: apakah pemerintah daerah selama ini bekerja tanpa data yang akurat, atau sengaja menutup mata terhadap realitas yang ada? Publik kini menanti langkah konkret, bukan sekadar janji, untuk mengurai benang kusut kemiskinan di kabupaten terkaya se-Banten ini.(red)